Terkait Masalah UN, Dewan Kaltim Minta Menteri Baru Perhatikan Kualitas Pendidikan di Daerah

Upnews.id, Samarinda – Menurut Dewan Kaltim Muhammad Darlis, penerapan Ujian Nasional untuk pendidikan di Indonesia memang masih plus minus. Namun yang harus menjadi perhatian dari menteri pendidikan yang baru ialah kualitas pendidikan antar daerah.
Ujian Nasional (UN) sudah lama menjadi sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah di Indonesia. Ujian setiap akhir jenjang siswa ini punya sejarah panjang.
Dahulunya, pada 2003-2007 bernama Ujian Akhir Sekolah, lalu ganti menjadi Ujian Akhir Sekolah Berstandar nasional (UASBN) pada 2008-2010. Pada 2011-2020 diganti menjadi Ujian nasional (UN). Setelah beberapa kali ganti nama UN resmi ditiadakan sejak 2021.
Sebagai gantinya, menteri pendidikan saat itu, menerapkan Asesmen Nasional (AN), yang meliputi tiga komponen utama yakni, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar, untuk mengevaluasi belajar siswa.
Namun setelah dihapuskannya UN, muncul pro dan kontra. Pada satu sisi, siswa jadi tidak terpaku pada nilai akhir UN, sementara pada sisi lain, kualitas pendidikan tampak menurun. Siswa tak lagi punya daya saing untuk meraih nilai bagus.
Anggota DPRD Kaltim Muhammad Darlis Pattalongi melihat memang Ujian nasional memiliki plus minus tersendiri. Sebab UN lebih melihat hasil belajar siswa melalui satu standar yang rata. Sementara kualitas pendidikan antar daerah belum seimbang.
“Situasi pembelajaran kita dari Sabang sampai Merauke kan berbeda. Jadi ketika ujiannya disamakan memang ada kendalanya,” kata Darlis belum lama ini.
“Karena kualitasnya berbeda, sehingga kalau ujiannya disamakan, itu tidak adil juga,” sambungnya.
Menurut Darlis, menteri pendidikan yang baru, harus memperhatikan kualitas pendidikan antara daerah satu dengan daerah lain. Melihat proses pembelajaran setiap daerah, termasuk kualitas, akses, dan sarana prasarana.
Dengan melihat proses pembelajaran antar daerah, maka akan dapat terlihat kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Barulah kemudian mencari solusi atas evaluasi atau sistem serupa UN yang dapat digunakan secara nasional.
“Kalau UN dipertahankan dengan pola yang lama, mestinya yang dikejar bagaimana kualitas pengajaran di setiap daerah mendekati sama. Sehingga kualitasnya menyamai,” ujarnya.
“Tapi sepanjang kualitasnya berbeda, antar provinsi saja berbeda-beda, ini yang harus dipahami oleh pemerintah lebih dahulu,” pungkas Darlis.(Zn/Yl/Dr/Adv)