Upnews

Dari “Pak Lek Sayur” hingga Kadisdik: Kisah Mulyono dan Filosofi Rumput di Tanah Gersang

Upnews.id, SANGATTA – Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutai Timur (Kutim), Mulyono, memanfaatkan sesi sambutannya dalam Talk Show Hari Santri untuk berbagi kisah hidupnya yang penuh perjuangan. Di hadapan para santri MBS, ia menyampaikan pesan mendalam tentang arti kesulitan, kegigihan, dan pentingnya pendidikan agama.

Mulyono memulai kisahnya dengan menegaskan bahwa dirinya adalah anak transmigran. Ia lahir dari keluarga petani yang pada tahun 1974 mengikuti program transmigrasi ke Banjarmasin.

“Sejatinya Mulyono itu adalah anak transmigran. Orang tua saya petani asli yang tahun 1974 ikut transmigrasi ke Banjarmasin,” tuturnya.

Perjalanan hidup keluarganya kembali diuji pada tahun 1982 ketika mereka pindah ke Tenggarong melalui jalur transmigrasi swakarsa mandiri—yang kondisi dan dukungannya jauh lebih berat daripada transmigrasi reguler. Dengan lima bersaudara, kehidupan mereka diwarnai serba kekurangan. Ibunya kerap menukar beras di warung hanya untuk membayar SPP anak-anaknya.

Tidak hanya orang tuanya yang berjuang, Mulyono kecil pun ikut membantu ekonomi keluarga. Sejak SD hingga SMA, ia berjualan sayur keliling. Karena pekerjaan itu, teman-temannya menjulukinya Pak Lek Sayur.

“Sampai SMA pun saya masih jualan sayur keliling. Jadi jangan tanya bagaimana masa muda saya,” ucapnya sambil tersenyum mengingat masa lalu.

Meski demikian, perjuangan tersebut membentuk karakter dan mentalnya. Setelah lulus SMA, ia berhasil masuk Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)—sebuah pencapaian besar bagi seorang anak transmigran yang tumbuh dalam keterbatasan. Kini, buah perjuangan keluarga itu semakin nyata: kelima anaknya telah menjadi sarjana dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), tiga di antaranya bahkan menduduki jabatan struktural.

“Orang tua saya itu betul-betul menjadi ratu,” ujarnya bangga. Ayahnya hanya lulusan SR dan ibunya tamat kelas 3 SD, namun keduanya menjadi sumber kekuatan dan simbol motivasi baginya hingga sekarang. Ia bahkan pernah mengajak sang ibu bertemu Bupati dan Gubernur, menyebutnya sebagai “jimat” kesuksesan.

Pada akhir sambutan, Mulyono menyampaikan filosofi hidup yang ia pelajari dari pengalaman panjangnya.

“Rumput yang tumbuh di tanah gersang itu akarnya lebih kuat daripada yang tumbuh di tanah subur. Artinya, orang yang terbiasa ditempa kesulitan akan lebih siap menghadapi hidup,” pesannya kepada para santri.

Kisah Mulyono menjadi pengingat bahwa keterbatasan bukan penghalang, melainkan pijakan untuk melompat lebih tinggi—asal disertai tekad, kerja keras, dan keimanan.(Ir/Nt/Dr-Adv)

Baca Juga

Back to top button