Kekerasan Dalam Pacaran Berujung Damai Melalui RJ
Pelaku Dapat Sanksi Sosial, Jadi Marbot Selama 3 Bulan

Upnews.id, Sangatta – Kekerasan dalam pacaran (KDP) terjadi pada pasangan sejoli asal Sangatta Kabupaten Kutai Timur.
Romeo (bukan nama sebenarnya) dengan tega membogem pipi Juliet (juga bukan nama sebenarnya) hingga membiru, hanya karena kedapatan ada notifikasi di Facebook dengan kata sayang.
Baca Juga : Gandeng Kejari, Disdik Kutim Gelar Bimtek Anti Korupsi
Tidak terima akan kelakuan kekasihnya, Juliet (25) karyawati salah satu perusahaan di Sangatta. Akhirnya melaporkan Romeo (24) ke Polres Kutai Timur.
Perkara ini pun bergulir hingga dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Timur. Lantaran beberapa hal, Kejari Kutim memutuskan menghentikan penuntutan perkara melalui pendekatan keadilan Restorative Justice (RJ).
Keputusan ini disampaikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kutai Timur, Reopan Saragih, melalui Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Kutim, Bayu Fermady, didampingi Plt. Kasubsi Penuntutan Eksekusi dan Eksaminasi, M. Ronald Pamungkas, Jaksa Fasilitator, Akvianto Sukmaharto, dan Jaksa Fungsional, Muhammad Galeh Setyawan.
“Awalnya pria ini datang bawa makanan ke tempat si cewe, setelah itu tidak lama (hp) si cewe dapat notif di Facebook dengan kata sayang, laki-laki ini liat dan akhirnya marah sampai pukul perempuannya,” sebutnya Kasi Pidum.
Menurut Bayu Fermady saat konferensi pers di Aula Kejari Kutim, bahwa penghentian penuntutan ini didasarkan pada beberapa regulasi yang berlaku.
Baca Juga : Malam Pisah Sambut Kejari Kutim, Ardiansyah Beri Apresiasi
“Dasar hukum yang kami gunakan adalah Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Pedoman Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum,” ungkapnya pada Rabu (07/05/2025).
Ia juga menjelaskan bahwa Surat Perintah dari Kepala Kejari Kutim dengan nomor PRINT-02/0.4.20/Eoh.2/04/2025 tanggal 24 April 2025 menjadi landasan pelaksanaan upaya damai tersebut.
Sejumlah pertimbangan melatarbelakangi diterapkannya restorative justice dalam perkara ini.
“Yang terpenting, tersangka dan korban telah berdamai tanpa syarat,” katanya.
Baca Juga : Berhasil Kembalikan Uang Negara 1,7 M, Sekab Kukar Apresiasi Kejari Kukar
Selain itu, pelaku menunjukkan penyesalan atas perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya dikemudian hari. Hal ini turut didukung fakta bahwa ia belum pernah terlibat perkara pidana, sebagaimana dibuktikan melalui penelusuran data perkara di website SIPP dan CMS Kejaksaan.
Selama proses di Rumah Restorative Justice, pihak Kejari memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada korban.
“Tersangka menyampaikan permohonan maaf secara lisan kepada korban. Setelah itu, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai tanpa syarat,” tambahnya.
Proses perdamaian itu juga disaksikan langsung oleh tokoh masyarakat dan Ketua RT tempat tinggal tersangka. Hal ini dianggap penting untuk memastikan keterlibatan masyarakat dalam proses pemulihan hubungan antara pelaku dan korban.
Pihaknya juga menyebut bahwa pelaksanaan restorative justice bukan hanya tentang menghentikan proses hukum, tetapi juga sebagai bentuk pemulihan hubungan sosial.
Baca Juga ::Arfan Apresiasi Langkah Kejari Kutim Sosialisasikan Pendampingan Hukum Bagi Masyarakat Pesisir
“Restorative justice atau keadilan restoratif ini adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yg menekankan pemulihan, rekonsiliasi, dan perbaikan hubungan yg terganggu akibat tindak pidana,” bebernya.
Lebih lanjut, Bayu menjelaskan bahwa setelah proses perdamaian dengan korban dilakukan, pelaku tidak serta-merta dibebaskan begitu saja. Ia harus melaksanakan sanksi sosial berupa menjadi marbot masjid di lingkungan tempat tinggalnya selama tiga bulan.
“Sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial, tersangka akan menjalani sanksi sosial sebagai marbot masjid selama tiga bulan ke depan,” ujar Bayu.
Pihaknya menambahkan, selama menjalani sanksi sosial ini, tersangka tetap diwajibkan melapor secara berkala.
“Tersangka tetap wajib lapor meskipun menjalani sanksi sosial. Ia harus mengirimkan dokumentasi berupa foto dan laporan kegiatan sesuai dengan kesepakatan,” jelasnya. (Ir/Dr)